perjanjian-bukit-marapalam

‘Sumpah Satie Bukik Marapalam’ dan Dampaknya Pada Masyarakat Minang

Posted on

Bukik Marapalam adalah puncak bukit tertinggi di kabupaten Tanah Datar. Sekarang kawasan ini lebih terkenal dengan nama Puncak Pato. Pemandangan dari atas puncak pato yang menawan, menjadikannya destinasi yang tepat untuk berfoto-foto. Namun siapa sangka, disana tersimpan sejarah besar ninik mamak orang minangkabau.

Marapalam sendiri dipercayai berasal dari kata ‘marapek alam’ yang artinya meraptatkan atau mengeratkan hubungan. Sedangkan Puncak Pato sendiri berasal dari kata ‘Fakta dan atau Pakta’ , yang berarti perjanjian.

Puncak Pato (Bukit Marapalam)

Sejarah Perjanjian Bukit Marapalam

Latar belakang terjadinya perjanjian bukit marapalam adalah akibat adanya perang paderi. Perselisihan antara kaum agama, yang dikenal dengan harimau nan salapan, dengan kaum adat. Para ulama minang menganggap bahwa banyak kebiasaan di Minangkabau bertentangan dengan ajaran agama islam.

Selain sistem kekerabatan dan hukum warisan yang sifatnya matrilineal, perjudian, sabung ayam, minuman keras, dan longgarnya penegakan syariat islam menjadi pemicu utama perlawanan kaum paderi.

Kemudian meletuslah perang paderi pada tahun 1803. Keikutsertaan Belanda dalam barisan kaum adat, membuat perang semakin berlarut-larut, bahkan sebenarnya merugikan kaum adat itu sendiri. Hingga akhirnya, muncul kesadaran kaum adat dan kaum paderi bahwa musuh utama mereka adalah Belanda. Mereka bersatu melawan penjajah. Hingga puncaknya adalah Perjanjian Bukit Marapalam pada tahun 1837.

Perang Paderi (1803-1838)

Isi Perjanjan Bukit Marapalam

Falsafah minang Adat basandi syarak, Syarak Basandi Kitabullah adalah hasil utama yang dilahirkan dan disepakati dalam Sumpah Satie Bukit marapalam. Hal ini menjadi pedoman utama, bagi penegakan hukum, aturan adat dan agama di Minangkabau.

Untuk pelengkap, disepakati bahwa Syarak mangato, Adat mamakai. Maksudnya adalah bahwa panduan utama tetaplah syarak (hukum islam).

Dampak Perjanjan Bukit Marapalam

Dengan disepakatinya perjanjian bukit marapalam, maka semua aturan-aturan adat minangkabau disesuaikan dengan ajaran agama islam. Hal itu tentunya menghasilkan dampak tertentu, berikut diantaranya.

  • Orang Minang Haruslah beragama Islam

Sendi adat minangkabau adalah ajaran Islam, Ia harus mempercayai syarak dan kitabullah, sehingga siapapun yang mengaku sebagai orang minang haruslah beragama islam.

  • Diperbaharuinya Sistem Matrilineal

Satu hal yang sangat bertentangan dalam sistem matrelineal menurut ajaran agama adalah mengenai hukum waris. Warisan diturunkan berdasar garis keturunan ibu (perempuan), sehingga kaum laki-laki sifatnya hanya sebagai penjaga warisan, bukan pemilik.

Setelah perjanjian bukit marapalam disetujui bahwa yang diturunkan secara matrilineal adalah harta pusaka tinggi. Sedangkan harta pencaharian (ayah) tetap diwariskan sesuai hukum islam kepada anak-ananya. Sehingga dengan demikian lelakipun tetap dapat menerima harta warisan.

  • Dilarangnya judi, minuman keras dan segala bentuk maksiat

Dilarangnya judi, sekaligus melarang segala bentuk kebiasaan yang memfasilitasi perjudian, seperti sabung ayam dan adu kerbau. Selain itu, juga melarang segala bentuk minuma keras dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan hukum islam.Seperti berdoa dengan dupa dan kemenyan.

  • Menjadikan surau sebagai pusat kegiatan

Untuk menggiatkan penegakan syariat islam, dijadikanlah surau sebagi pusat kegiatan. Selain pusat kegiatan ibadah, surau menjadi tempat belajar ilmu agama dan pendidikan informal lainnya, seperti silat.

Demikianlah bagaimana sejarah awal masyarakat minangkabau berpegang teguh dan menjadikan Adat Basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah sebagai falsafah utama kehidupan mereka.

Comments

comments

Gravatar Image
Gadih minang tulen, meskipun lahir dan besar di Jakarta. Menyukai liburan ke tempat wisata di Sumatera Barat, sambil menikmati kuliner. :D