Matrilineal adalah sistem kekerabatan yang berdasarkan dari garis keturunan ibu (perempuan). Berasal dari kata matri (ibu) dan lineal (garis). Sistem kekerabatan ini dianut oleh sedikit suku bangsa di dunia. Suku bangsa Mosuo di Tiongkok, Minangkabau di Indonesia, Bribri di Kosta Rika, Umoja di Kenya dan Navajo di Amerika Serikat.
Diantara 5 suku bangsa tersbut, Minangkabau adalah pemegang sistem kekerabatan Matrilineal terbesar di dunia. Alur keturunan diwariskan menurut garis keturunan ibu, termasuk warisan Harta Pusaka Tinggi. Pemegang harta adalah pihak perempuan (Bundo Kanduang), sedangkan lelaki (Mamak) hanya boleh mengolah dan sifatnya sebagai penjaga pusaka.
Hal ini sekilas menjadi titik kelemahan orang minangkabau. Namun kenyataannya sistem ini menempatkan perempuan pada posisi yang mulia. Sebagaimana Rasulullah yang sangat menjunjung tinggi kedudukan perempuan.
Kelebihan Sistem Matrilineal
Harta Pusaka Tinggi diwariskan dari generas ke generasi menurut garis keturunan ibu. Pemegang kunci tersebut adalah Bundo Kanduang. Meskipun demikian, Bundo Kanduang tidak boleh memutuskan secara sepihak atas harta tersebut, tetap melali musayawarah dengan para laki-laki (Ninik Mamak).
Kepemilikan perempuan (Bundo Kanduang) tidak bisa diintervensi oleh suaminya. Laki-Laki (suami) dalam sebuah keluarga memiliki peran sebagai Urang Sumando. Ia tidak berhak untuk ikut campur dengan urusan keluarga pasukuan istrinya.
Kelebihan lainnya dari sistem ini adalah ketika terjadi perceraian, anak akan tetap terjamin keberlangsungan hidupnya. Saat perceraain, anak-anak akan tinggal bersama ibunya. Bayangkan bila sistem yang digunakan adalah garis keturunan Patrilineal (ayah). Saat bercerai, istri dan anak-anaknya tidak memiliki harta apa-apa untuk menjamin keberangsungan hidup mereka.
Kekurangan Sistem Matrilineal
Dahulunya, jumlah orang minang, laki laki ataupun perempuan, yang menikah dengan orang luar minangkabau jumlah belum begitu banyak. Ada kecendrungan di masyarakat, untuk menjodohkan anak kemenakannya dengan sesama orang minang, tujuannya adalah agar adat tetap lestari dan harta pusako tetap terjaga (indak putuih).
Ada dua kemungkinan yang terjadi bila terjadi pernikahan lintas budaya Minang. Si anak kemungkinan memiliki dua suku, dari ibu dan ayahnya, atau tidak memiliki suku sama sekali.
Saat perempuan minang menikah dengan orang luar, yang menganut sistem Patrilineal (garis keturunan ayah), otomatis sia anak akan memiliki dua suku (suku minang & marga ayahnya). Si anak masih bisa mewarisi adat dan kebudayaan minang, termasuk harta pusako. Ia masih memiliki mamak yang mengajarinya tentang adat istiadat.
Lain halnya jika laki-laki minang yang menikah dengan perempuan luar. Akan terjadi tabrakan budaya. Menurut ayah (minang), anaknya tentulah harus menurut sistem kekerabatan ibunya, sedangkan menurut ibunya (bukan minang), anak haruslah sesuku dengan ayahnya. Sehingga kemudian anak tidak memiliki suku, anak tidak memiliki mamak. Dalam budaya minang, digambarkan sebagai berikut.
‘baparak ka parak urang,
indak buliah batanam tabu
bamamak ka mamak urang
indak buliah tampek mangadu”
Status Sosial Akibat Matrilineal
Sistem kekerabatan ini kemudian melahirkan beberapa status sosial di mayasarakat minang. Status ini menjadi jabatan seseorang ketika ia berada di kaumnya dan bisa saja berbeda saat ia berada di luar lingkaran tersebut.
- Bundo Kanduang
Ibu, secara harafiah di rumah menjadi oraang tua bagi anak-anaknya. Namun dalam kaum statusnya menjadi Bundo Kanduang, baik definisi sebagai individu ataupun kelompok individu. Ruang lingkupnya kemudian menjadi pemegang harta pusaka tinggi kaumnya.
- Ninik Mamak
Mamak, secara definisi adalah saudara laki-laki dari ibu. Sedangkan ninik mamak adalah orang (mamak) yang diangkat untuk menjadi pemimpin kaum tersebut. Ia adalah orang yang paling bertanggungjawab di dalam suatu kaum. Menjamin keberlangsungan kehidupan sosial masyarakat anak kemenakannya. Ia menjadi penengah dalam setiap pengambil keputusan di kaumnya.
- Sumando
Sumando adalah status yang diberikan untuk laki-laki yang datang ke suatu kaum, akibat dari proses pernikahan. Ia menjadi orang luar. Ia tidak memiliki hak untuk ikut duduk dalam musyawarah kaum si istrinya. Apalagi untuk ikut andil dalam harta pusaka yang diwariskan ke istrinya (bundo kanduang).
Namun bagaimana jika kasusnya terjadi sebaliknya? Bagaimana jika seorang wanita non-minang menikah dengan seorang laki-laki minang?
Jika seorang laki-laki yang datang ke keluarga perempuan minang, maka ia disebut sebagai orang sumando. Untuk kasus perempuan non-minang kemudian ada istilah malakok (melekat). Artinya ia hanya sekedar ‘ikut serta’ dalam keluarga suaminya, ia hanya menumpang. Ia tidak punya hak untuk ikut dalam musyawarah dan pengambilan keputusan di kaum keluarga laki-laki.