Sumatera Barat adalah tempat tinggal utama masyarakat minangkabau. Meskipun, sebagai bagian dari negara demokrasi dengan Undang Undang pemilihan pemimpin (kepala daerah) yang jelas, namun praktiknya tetap tidak bergeser dari tata cara pemilihan pemimpin oleh nenek moyang terdahulu.
Nilai demokrasi yang sudah lama dijunjung tinggi masyarakat minang adalah musyawarah mufakat. Setiap keputusan yang diambil, setiap pemimpin yang diangkat mesti melewati proses uji kelayakan dalam musyawarah adat.
Sistem pemerintahan modern membagi tingkatan dalam pemerintahan, misalnya di Indonesia kita memiliki presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, kemudian gubernur, bupati/walikota, camat, hingga pemerintahan terendah adalah nagari. Sistem ini bahkan sudah mengakar kuat di minang, terbukti dengan perlambagan ‘pangulu’ yang memimpin para ‘mamak’ dan mamak memimpin ‘kamanakan’ nya.
“Kamanakan barajo ka mamak,
Mamak barajo ka pangulu
Pangulu barajo ka mufakat
Mufakat barajo ka nan bana
Bana badiri sandirinyo
Bana manuruik alua jo patuik
Manuruik patuik jo mungkin”
Selain azas demokrasi, berikut prinsip yang digunakan dalam pemilihan pemimpin di minangkabau.
Prinsip Musyawarah Mufakat
Meskipun definisi lama dari musyawarah mufakat sudah bergeser dari yang dahulunya duduk bersama, menimbang dan memutuskan suatu hal (termasuk memilih pemimpin). Sekarang sistem pemilihan pemimpin, sesuai undang-undang berlaku , adalah dengan ‘Pemilihan Langsung’ oleh rakyat. Musyawarah mufakat memiliki makna yang diperluas dalam bentuk Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah). Calon dengan suara terbanyak kemudian yang akan memimpin.
Hal ini sebenarnya sama dengan musyawarah mufakat, karena dalam musyawarah pun pasti ada perbedaan pikiran dan pendapat, namun kemudian keputusan berdasar suara terbanya dirasa cukup mewakili aspirasi anggota musyawarah.
Implementasi 3 tungku sajarangan
Niniak Mamak, Alim Ulama dan Cadiak Pandai. Ketiganya adalah tiga unsur kepemimpinan di Minangkabau. Demikian juga dalam pemilihan pemimpin daerah (termasuk presiden) di era modern, ketiga hal ini harus dimiliki oleh calon pemimpin.
Ketiga hal ini menjadi tolak ukur kepatutan calon pemimpin, kebijaksanaan seorang niniak mamak, ketaatan seorang alim ulama, serta kecerdasan (ilmu) seorang cadiak pandai.
Peran ‘Si Buto’ dan ‘Si Tuli’
Sangat jarang satu orang yang bisa ahli dalam ketiga unsur kepemimpinan ala minang ini. Meskipun ada, tapi sangat jarang ada. Ada niniak mamak yang taat beragama, namun tidak ahli dalam ilmu politik dan kepemimpinan. Ada pemimpin islam dan pintar berpolitik, tapi tidak bisa menjunjung adat. Karena memang tidak akan pernah ada orang yang sempurna, lalu bagaimana?
Nenek moyang sudah menyediakan solusinya sejak lama, terpatri dalam petatah-petitih minang
“Nan buto paambuih lasuang
nan pakai palatuih badia
nan lumpuah panjago rumah
nan binguang ka disuruah-suruah
nan cadiak lawan baiyo
nan kayo tampek batenggang
nan kuaik parik paga dlam nagari”
Tidak ada orang yang sia-sia, semuanya memiliki peranan penting. Hal ini berkaitan dengan pemilihan pemimpin (kepala daerah) di Minang. Bila memang memang calon pemimpin ini lumpuah pasangkanlah dengan si buto. Biarlah si lumpuh menjadi mata bagi si buta, dan si buta menjadi si kaki bagi si lumpuh.
Meskipun pertimbangan ini tidak selalu benar karena ilmu selalu berkembang dinamis. Namun ada nilai-nilai yang tidak berubah ditempa jaman. Pemilihan pemimpin ini misalnya.